Seven Ways To Hell



"A depressed guy moves into a haunted house with seven demons, each corresponding to a deadly sins. But, they are all trying to help him get back on his feet; pride helps with self confidence, lust helps him get laid, etc."

— @writing.prompt.s dengan beberapa perubahan.


·
·
·


SEVEN WAYS TO HELL
©️ kootorie, 2019

Seluruh hak cipta
dilindungi oleh undang-
undang.


·
·
·


Amartya tidak tahu lagi apa yang lebih menakutkan: tali tambang yang menjerat lehernya mulai menimbulkan sensasi mencekik yang amat panas atau munculnya enam pria asing yang menontoni sesi bunuh dirinya dengan muka datar.




"Yap, Neraka kedatangan pengecut lagi. Congrats." Pria berpiyama cokelat muda dengan selop bulu berwarna senada, mengomentari pemandangan itu sambil mengemili keripik kentang rasa balado di tangannya. Bermacam makanan—dari yang ringan hingga ke berat—mengitarinya bagai asap yang bersemilir di udara; seakan ada keterikatan tak langsung yang menjerat keduanya.




"Ini tidak adil! Satu-satunya makhluk keren yang tinggal di Neraka hanya aku. Sisanya pecundang. Oh, mengapa aku begitu keren?" Pria lainnya—yang memakai piyama putih berpolkadot—memandangi refleksinya pada cermin kecil sambil terisak. Anehnya, refleksi tersebut memantulkan bayangan wajah yang dipenuhi bunga-bunga mawar berwarna hitam, bukannya bayangan wajah sang pria yang tidak tertutupi apa-apa.




"Irinya jadi manusia; bisa mati kapan saja. Aku juga ingin mati," desah pria berpiyama hijau daun. Bola matanya bagaikan lentera hijau yang diliput rasa benci. Perangai tubuhnya baik, namun terlihat dapat meledak sewaktu-waktu secara bombastis.




"Malas mati,” sahut—mungkin racau—pria yang memakai piyama biru dan topi tidur. Matanya terpejam erat; tubuhnya berbaring di sofa sambil memeluk guling. Di salah satu pergelangan kakinya, terjuntai rantaian bola hitam seperti yang dipakai para narapidana agar tidak kabur.




"Kerjamu hanya malas, malas, malas, malas, malas, dan malas, malas, malas, lalu malas, malas, malas, dan … apa lagi, ya? Oh, MALAS!" Pria berpiyama merah mencekik leher si pria yang selalu tidur itu. Lidah api menjalar-jalar di sekujur tubuhnya; panas dan membara. "Ada lagi yang bisa kau lakukan selain MALAS?"

"Dia itu The Slothpokok dari segala kemalasan, Jungkook. Mau bagaimana lagi?" Si pria rakus mengomentari. Kali ini, ia mengemili keripik kentang rasa ayam panggang.

"Aku MARAH." Pria yang suka marah seperti Hulk itu menambah kekuatan pada cekikannya. "Aku INGIN MEMBUNUHNYA. Bolehkah?"

Si tukang tidur menyahut, "Malas."




"Silakan bunuh dia dan bunuh yang lain, juga tolong bunuh dirimu sendiri." Pria berpiyama emas, berkalung emas, bercincin emas, serta bertongkat dan bermahkota emas, menyetujui aksi tersebut. Limpahan emas memenuhi tempat duduknya seperti debu di rumah lama. Ia tampak luar biasa berkilauan, namun raut wajahnya menunjukkan ketidak puasan. "Aku ingin jadi satu-satunya dosa me'mati'kan di seluruh alam semesta. Kalian? Mati saja."

"Kim Tae-BEDEBAH-hyung, kau SELALU serakah. Kau punya segalanya dan masih meminta lebih?!" Hulk mengamuk. Ia ganti mencekik si pria emas.

"Dia itu The Greed. Tentu saja dia selalu serakah, Jungkook." Si pria rakus kembali mengomentari. Sekarang, ia tengah mengemili keripik kentang rasa barbeque.

"DIAMLAH, Namjoon!"

"Malas diam."

"Kau ... SIALAN Min Yoongi!"

"Oh, jadi kau iri pada The Envy, Taehyung? Aku juga iri padamu."

"Jung Hoseok, KAU SELALU IRI PADA SIAPA SAJA!"

"Hei, Hoseok. Apa kau juga iri pada ketampananku?"

"ASTAGA, KIM SEOKJIN IDIOT, diamlah! Semua orang TAHU kalau kau TAMPAN karena kau SELALU MEMBICARAKANNYA SETIAP SAAT!"

"Eh, benarkah? Kupikir hanya setiap kau marah dengan kata lain, setiap detik."

Kemudian, mereka bertengkar hebat. Amartya yang menggantung tak jauh dari sana, menggelepar hebat. Ia mulai kehilangan kesadaran.





Tiba-tiba, sosok pria jakung hadir dari balik asap ungu yang berkilauan. Bola matanya berwarna perak seperti rembulan, bibirnya merah marun dan basah. Tiap kali melangkah, ia meninggalkan jejak berupa kupu-kupu beterbangan.

"Park Jimin! Tidak biasanya kau datang, Dude," sapa Namjoon senang. Ia beranjak dari tempat duduknya; tumpukan makanan pun mengikuti. "Bukannya kau hanya bisa muncul jika ada orang yang bernafsu? Memangnya ada di antara kita yang sedang bernafsu?"

"Mungkin ITU karena NAFSU MEMBUNUHKU," cetus Jungkook. Matanya berbinar-binar seperti nyala api di perapian.

Jimin menggeleng. "Gadis itu," Ia menunjuk Amartya. Seketika, matanya menggelap, "ia bernafsu hidup."

Keenamnya terdiam. Mereka memandangi Amartya yang masih menggelapar. Wajahnya kian membiru.

"Aku yakin, kau masih menyembunyikan sesuatu," selidik Hoseok. Dahinya mengerut tidak suka. "Kau kan punya kemampuan melihat kilas balik kehidupan orang yang memanggilmu. Kemampuan yang sangat bikin iri."

Jimin mengabaikan tatapan kebencian Hoseok yang sudah amat biasa baginya. Ia beralih memandangi keenam saudaranya; satu per satu secara bergantian. "Dia berniat mati karena beberapa 'alasan' yang aku yakin tidak ingin kalian dengar. Kalau dengar, telinga kalian bisa gatal-gatal."

"Oh, cukup katakan saja," desak Taehyung tidak sabaran.

Seakan berat dilakukan, Jimin menarik napas panjang. "Dia ingin mati karena menurutnya, dia tidak berarti apa-apa. Dia merasa dia hanya sampah."

Tampaknya benar apa yang dikatakan Jimin karena sekarang Seokjin menggaruk-garuk lubang telinganya. "APA? SAMPAH? Hal terakhir yang ingin aku dengar selama aku hidup—dengan kata lain selama-lamanya karena aku tidak bisa mati-adalah SESEORANG MENGANGGAP DIRINYA SAMPAH! Holy shit, dosa pertama alias ibu dari segala dosa adalah PrideKeangkuhan—yang menyebabkan malaikat diusir dari Surga dan melahirkan sosok iblis. Itulah mengapa aku dikutuk agar tidak bisa melihat dan mengagumi pantulan wajahku sendiri sebagai hukuman atas perbuatanku. Tapi, manusia ini? MANUSIA INI?! Dia harusnya BANGGA PADA DIRINYA SENDIRI!"

Tawa langsung menyembur dari mulut Jungkook setelah Seokjin menyelesaikan pidato panjang-lebarnya. "Yaah, aku rasa, TIDAK semua manusia membutuhkan—" Kalimat Jungkook menggantung saat ia melihat Jimin menatap lurus kepadanya. Tiba-tiba, ia merasa merinding.

"Seumur hidup, gadis ini di-bully. Tapi, dia tidak pernah melawan karena menurutnya, itu tidak baik,” lanjut Jimin, tepat menusuk nadi Jungkook sehingga pria itu melotot.

“TIDAK BAIK KATAMU?!” Suara menggelegar Jungkook kembali timbul. “MELAWAN itu TIDAK BAIK?! Demi pakaian dalamku yang tidak pernah terbakar meski aku mengeluarkan api, DIA HARUSNYA MARAH! BULLY bukanlah hal yang PANTAS DIDAPATKAN SIAPA PUN! Astaga, gadis ini hanya punya SATU SEL OTAK atau bagaimana?!”

“Dia selalu mendengar berbagai penghinaan dan gunjingan yang ditujukan kepadanya. Gara-gara itu, dia selalu mengubah pribadinya setiap saat; mengabaikan apa yang sebenarnya dia inginkan demi memenuhi pandangan orang lain. Meski pada akhirnya, semua orang tidak pernah memberi repsek nyata padanya."

Tiba-tiba, kedua mata Yoongi membuka lebar. Ia bangun dari tidur telentangnya, lalu menunjuk wajah Jimin. "Aku selalu malas mencampuri kehidupan orang lain, tapi yang satu ini membuat kepalaku sakit. Aku paling benci pada orang-orang yang selalu mendengarkan perkataan orang lain, bla bla bla, melakukan apa pun yang orang lain suruh; tidak bisakah dia cukup mengabaikan perkataan orang-orang itu? Orang-orang yang sibuk menghina orang lain seakan merasa hidup mereka lebih baik adalah ORANG YANG PALING MALAS AKU TEMUI. Serius, gadis ini perlu belajar untuk tidak peduli dan tidur."

Meski terpukau mendengar Yoongi bisa mengucap lebih dari dua kata, Hoseok menyanggah, "Lalu, kita bisa berbuat apa? Biarkan saja gadis ini melakukan apa yang dia mau."

Taehyung mengangguk setuju. "Ya. Kita tidak punya tanggung jawab apa pun untuk menyadarkannya atas sikap pecundangnya itu, kan?"

Jimin mengangkat bahu. "Yaah, aku tidak tahu dengan kalian berdua, tapi aku cukup yakin kalau kita semua kesal terhadap sikapnya yang tidak pernah ingin lebih unggul dari orang lain dan membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk kepentingan orang tertentu."

Mendengar itu, Hoseok dan Taehyung melotot bersamaan. "OH, TIDAK, TIDAK, TIDAK. Gadis ini PERLU DISADARKAN."

Namjoon, yang sedari tadi mengemili keripik kentang rasa ayam gepreknya, mengomentari, "Kalian terlalu ambisius. Dia tidak perlu—"

"Gadis ini tidak menginginkan apa pun." Jimin, mata rembulannya mulai menguarkan cahaya ungu yang menderang. "Hasratnya terhadap segala sesuatu adalah nol. Dia memilih diam dan tidak melakukan apa-apa, membiarkan semua orang mengambil apa pun yang dia punya. Ya, tentu saja, Namjoon. Dia tidak perlu—"

Seketika, amarah bergejolak dalam tubuh pria tukang makan itu. Seakan mengikuti perubahan emosinya, tumpukan makan di sekitar berubah jadi makanan super pedas. "Apa pun itu, AKU IKUT. Ayo beri gadis ini SEBUAH EDUKASI yang tidak akan pernah IA LUPAKAN dalam hidupnya. Serius, aku benci kalau pecundang seperti dia tinggal di Neraka."

Keenamnya mengangguk. Tanpa mengatakannya satu sama lain dan untuk pertama kalinya, mereka sama-sama bergerak dengan tujuan yang sama: melepas ikatan tali yang menjerat Amartya.

Namun setelah ikatan tali itu lepas, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang muncul. Amartya tetap tidak sadarkan diri dan tidak bernapas.

"Kita terlambat." Entah mengapa, mata Jungkook mulai berkaca-kaca. "Gadis ini sudah mati. Kita terlalu lama berbicara. Sekarang, kesempatanku untuk memperluas lahan rumah tidak akan pernah terwujud karena arwah gadis ini semakin mempersempit Neraka yang sudah sempit!"

"Tidak, Idiot. Aku masih bisa merasakan nafsu hidup pada diri gadis ini," ucap Jimin, terlihat kesal. "Sebelumnya, dia hanya pasrah pada kehidupan, menyangka bahwa segala kesialan yang terjadi padanya adalah tak; tanpa tahu jika hidup bergantung pada jalan yang dia pilih. Ajal menjemput dan kemunculan kita pada detik-detik terakhir membangkitkan nafsu hidupnya yang sudah lama terpendam. Ia masih bisa diselamatkan. Kita hanya butuh rumah sakit."

Alis Seokjin saling bertautan. "Jadi kita, The Deadly SinsTujuh Dosa Mematikan—harus mengantar seorang gadis ke rumah sakit?"

Ketujuhnya saling berpandangan.


·
·
·


CATATAN PENULIS

Heyyo, guys! <3 i="">

Sebenarnya, ini FF lama yang kubuat untuk salah satu teman online-ku alias yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Jadi kami buat tantangan saling bikin FF sesuai prompt yang diberi. Aku dapat prompt Seven Deadly Sins dari @writing.prompt.s (buruan cek IG-nya, banyak banget ide cerita yang keren-keren!). Akhirnya, terbentuk deh FF ini 😂

Aku tahu FF ini nyebelin banget karena ending-nya gantung (hoho). Sengaja, supaya yang baca ngembangin imajinasinya sendiri mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya (bohong deng, sebenernya aku males nulis panjang-panjang).

See ya next time!



0 Komentar